Kreteria Bank Dunia

Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah Kreteria Bank Dunia (BPS, 1994). Kriteria Bank Dunia mendasarkan penilaian distribusi pendapatan atas pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk berpendapatan terendah. Kesenjangan distribusi pendapatan dikategorikan sebagai berikut:
a.       Apabila kelompok 20% penduduk termiskin memperoleh pendapatan lebih kecil dari 12% dari keseluruhan pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa negara yang bersangkutan berada dalam tingkat ketimpangan yang tinggi dalam distribusi pendapatan.
b.      Apabila kelompok 20% penduduk termiskin memperoleh pendapatan antara 12% - 16% dari keseluruhan pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa negara yang bersangkutan berada dalam tingkat ketimpangan yang sedang dalam distribusi pendapatan.
c.       Apabila kelompok 20% penduduk termiskin memperoleh pendapatan lebih besar dari 16% dari keseluruhan pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa negara yang bersangkutan berada dalam tingkat ketimpangan yang rendah dalam distribusi pendapatan (Kuncoro,2006:139).
Secara umum yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang sedang terjadi di negara-negara sedang berkembang di dunia antara lain:
a.       Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.
b.      Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
c.       Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
d.      Investasi ditanamkam pada proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
e.       Rendahnya mobilitas sosial.
f.       Pelaksanaan kebijaksanaan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
g.      Memburuknya nilai tukar (terms of trade)  bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elatisitasan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.
h.      Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti industri rumah tangga.
            Di negara-negara kapitalis maju yang mempunyai tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif rendah, alternatif individu untuk menyimpan kekayaan sangat beragam. Mereka dapat membeli saham, obligasi, menyimpan dalam bentuk deposito dan aset-aset finansial lainnya. Mereka juga dapat membeli real estate. Tujuan pemupukan aset adalah peningkatan pendapatan total di masa mendatang. Dengan makin besarnya aset, penghasilan non gaji juga akan semakin besar. Jika mereka pensiun kelak, mereka tidak akan mengalami kekurangan penghasilan total, walau gaji sudah jauh berkurang. Dengan kata lain, di negara maju orang senantiasa membeli aset produktif. Karena itu pembahasan distribusi kekayaan atau pendapatan sangat relevan untuk melihat perkembangan dengan menghitung kelompok-kelompok mana saja yang paling menguasai jenis-jenis aset tertentu. Data Amerika serikat pada tahun 1989 (Case & Fair, 1996) menunjukkan bahwa 44,6% saham, 67,7% aset bisnis dan 43% real estate dikuasai oleh kelompok 1% teratas (Rahardja dan Manurung,2008:249).
Sedangkan di negara yang masih belum maju atau sedang berkembang seperti Indonesia, jenis kekayaan yang dimiliki keluarga tidak sebanyak di negara maju. Umumnya kekayaan  yang dimiliki oleh keluarga di Indonesia adalah tanah dan rumah. Seseorang dikatakan kaya apabila memiliki tanah yang luas dan rumah yang bagus. Sayangnya kekayaan ini umumnya tidak produktif dalam arti tidak menambah penghasilan bukan gaji.
Sebagian besar penduduk Indonesia masih mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian, maka distribusi kekayaan yang relevan dibicarakan adalah distribusi kepemilikan lahan pertanian (sawah dan perkebunan). Jika menggunakan ukuran ini distribusi kekayaan di Indonesia masih dikatakan buruk. Misalnya sebagian besar keluarga yang memiliki sawah hanya memiliki dengan luas lebih kecil dari 2.000 meter persegi (0,2 hektar). Padahal untuk hidup layak, satu keluarga petani harus memiliki minimal 3 hektar sawah yang beririgasi baik (bisa panen dua kali setahun). Juga masih banyak keluarga petani yang tidak memiliki lahan sawah. Untuk memperoleh penghasilan umumnya mereka bekerja sebagai buruh tani, atau lebih dikenal dengan sebutan petani gurem.

Komentar

Postingan Populer